Senin, 09 September 2013

Perang Jawa "Perang Diponegoro" 1825-1830



Ya, tokoh di gambar tersebut adalah Raden Mas Ontowiryo atau yang kita kenal sebagai Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro merupakan putra dari Sultan Hamengkubuwono III .Pangeran Diponegoro melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda berkisar pada tahun 1825 hingga 1830. Perlawanan besar-besaran tersebut sering kita kenal dengan ‘Perang Jawa’.


Konflik Pangeran Diponegoro dimulai saat Pemerintah Kolonial Belanda memasuki Yogyakarta. Pemerintah Kolonial Belanda akan melancarkan sarana transportasi dan militer di Yogyakarta. Hal tersebut menyebabkan digusurnya beberapa lahan. Daerah Kesultanan Yogyakarta semakin sempit akibat perlakuan Pemerintah Kolonial Belanda tersebut.
Ada beberapa perlakuan Kolonial Belanda yang sangat menganggu Kesultanan Yogyakarta, seperti 1.Kerja Rodi yang menyengsarakan rakyat ditambah dengan diterapkannya beberapa pajak.2.Kolonial Belanda ikut campur dalam Kesultanan Yogyakarta.3.Masuknya budaya Barat yang meresahkan rakyat.4.Beberapa pejabat Kesultanan Yogyakarta berpihak pada Kolonial Belanda.5.Dibongkarnya makam leluhur Pangeran Diponegoro.
Pangeran Diponegoro menentang perlakuan tersebut namun Pangeran Diponegoro memilih diam, mengasingkan diri dan menetap di Desa Tegalrejo Yogyakarta. Disinilah Pangeran Diponegoro mulai menyusun taktik untuk melakukan perlawanan terhadap Kolonial Belanda. Puncak kemarahan Pangeran Diponegoro adalah saat dimana Kolonial Belanda akan membongkar makam leluhur nya di Desa Tegalrejo. Residen Belanda A.H Smisaert sebenarnya sudah mengundang Pangeran Diponegoro untuk melakukan perundingan dengannya namun hal tersebut ditolak oleh Pangeran Diponegoro. Tiba-tiba dengan seenaknya Kolonial Belanda memasang patok-patok di sekitar desa. Warga tidak terima dengan perlakuan tersebut. Pangeran Diponegoro memerintahkan orang-orang untuk mencabut patok tersebut. Kolonial Belanda merasa diremehkan, mereka berusaha menangkap Pangeran Diponegoro. Pada tanggal 20 Juli 1825 Kolonial Belanda mulai melancarkan serangan. Kolonial Belanda mengepung Desa Tegalrejo. Serangan mendadak Kolonial Belanda menyebabkan Pangeran Diponegoro harus pindah.
Pangeran Diponegoro sampai ke Gua Selarong di Dusun Kentolan Lor Pajangan Bantul dan menjadikannya sebagai markas untuk menyusun strategi. Saat menghadapi Belanda, Pangeran Diponegoro menggunakan strategi gerilya. Strategi ini terbukti ampuh karena membuat Belanda kewalahan. Pasukan Belanda terdesak hingga ke daerah Pacitan. Pangeran Diponegoro tidak berjuang sendiri, banyak dukungan dan bantuan dari beberapa pihak bansawan salah satunya adalah Sentot Prawirodirjo.
Pangeran Diponegoro melakukan serangan besar-beseran pada saat musim penghujan. Hujan deras menghambat pergerakan pasukan Belanda. Pada saat itu banyak pasukan Belanda terserang penyakit disentri dan malaria.
Belanda mulai menerpkan strategi benteng stelsel dan mengerahkan mata-mata untuk mendapatkan informasi guna menyusun strategi. Belanda membangun benteng-benteng di daerah-daerah. Belanda membangun gudang-gudang mesiu di dasar  jurang dan di hutan-hutan. Mesiu dan peluru terus diproduksi saat peperangan.
Pada tahun 1828, Kiai Mojo slah satu pendukung Pangeran Diponegoro berahsil ditangkap oleh Belanda dan ddiasingkan ke Minahasa sampai wafatnya. Setahun kemudian, Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belanda dan bersama pasukannya dikirim ke Sumatera Barat untuk memadamkan perlawanan Tuanku Imam Bonjol. Namun Sentot Prawirodirjo akhirnya ditangkap karena pasukannya malah memihak kepada Tuanku Imam Bonjol. Sentot Prawirodirjo diasingkan ke Bengkulu hingga akhir hayatnya.
Perlawanan mulai melemah, pada tanggal 25 maret 1830 Pangeran Diponegoro ditangkap di Magelang. Belanda dengan liciknya menangakap Pangeran Diponegoro saat melakukan perundingan dengan Jenderal De Kock. Pangeran Diponegora diasingkan di Sulawesi, tepatnya di Makassar. Hal ini merupakan akhir dari Perang Jawa yang terjadi selama kurun waktu 5 tahun. Pada tanggal 8 januari 1855 Pangeran Diponegoro wafat dan dimakamkan di Makassar, tepatnya di Jalan Diponegoro, Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo, sekitar empat kilometer sebelah utara pusat Kota Makassar.
Perang Jawa ini merupakan perang yang sangat menyusahkan bagi pihak Belanda. Menghabiskan dana yang paling banyak. Dan menewaskan banyak korban di berbagai pihak. 200.000 jiwa meninggal, 8000 pasukan Belanda tewas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar